Filsafat Moral

| Senin, 09 April 2012 | |
Menjelang akhir kuliah pekan lalu saya membiarkan anda dalam posisi yang kurang nyaman. Ingatkah anda? Anda tersendat di terowongan Lion Rock Tunnel, di dalam bus yang dikemudikan oleh seorang [sopir] yang menyatakan bahwa hal-hal “terjadi” begitu saja, tanpa disebabkan oleh sesuatu. Apa yang sebaiknya anda lakukan pada situasi semacam itu? Alih-alih menjawab pertanyaan ini secara langsung, saya ingin anda mengubah sedikit cerita itu. Mari kita bayangkan bahwa ketika anda menanyai sopir bus itu mengapa ia menghentikan bus, ia tidak mengatakan “Saya tidak …”, tetapi ia mengacungkan pistol dan meminta anda memberi dia semua uang anda dan turun dari bus, atau [kalau anda menolak permintaannya] ia akan menembak. Anda mungkin akan mematuhi permintaannya. Namun sesudah bus itu berlalu, kala anda berjalan kaki menyusuri terowongan, anda mungkin menjadi cukup kalut terhadap hal yang dilakukan oleh orang itu kepada anda. Pada faktanya, sebagian besar dari kita barangkali akan melaporkan tindakannya ke polisi sesegera mungkin, dengan menuduh dia melakukan sesuatu yang salah.
Apa landasan rasional bagi klaim kita dalam kasus semacam itu? Mengapa kita menilai tindakan orang itu salah secara moral? Dalam filsafat, jenis pertanyaan ini disebut “etis”. Pertanyaan-pertanyaan etis berkisar pada bagaimana seharusnya kita bertindak. Ada banyak sekali pertanyaan etis—begitu banyak sehingga pada awal kuliah ini pun beragam jenis pertanyaan etis, belum lagi pertanyaan spesifik mengenai kebenaran atau kesalahan tindakan tertentu, belum bisa kita rambah. Pertanyaan etis bagaikan ranting-ranting di ujung suatu cabang pohon: ranting-ranting itu sangat penting, karena di sinilah tumbuh daun dan buah pohon; namun jumlahnya begitu banyak sehingga salah satunya bisa disingkirkan tanpa secara signifikan mengubah penampilan atau kesehatan pohon. Akan tetapi, ada jenis pertanyaan filosofis serupa yang lebih berbobot daripada pertanyaan etis. Semua pertanyaan etis didasarkan pada prinsip-prinsip moral fundamental tertentu, sebagaimana semua ranting yang berdaun disangga oleh salah satu cabang pohon yang besar. Kesadaran akan pertanyaan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ini adalah fundamental jika kita ingin memahami pohon filsafat. Pada suatu masa, “filsafat moral” dipakai untuk mengacu pada cabang ini sepenuhnya (termasuk ranting-rantingnya). Namun dewasa ini istilah itu jarang dipakai. Segenap cabang filsafat ini yang berkenaan dengan pembangunan pondasi rasional bagi tindakan-tindakan moral itu kini lebih sering diacu sebagai “etika” saja, dengan “etika terapan” yang mengacu pada ranting-rantingnya dan “meta-etika” yang mengacu pada bagian utama cabang tersebut. Namun untuk menghindari kekacauan, saya pikir lebih baik menggunakan istilah “etika” untuk mengacu pada keseluruhan “ilmu” (dalam arti luasnya) tentang pembuatan putusan-putusan moral, dan mencadangkan istilah “filsafat moral” untuk prinsip-prinsip dasar yang melandasi. Secara demikian, “filsafat moral” adalah cabang pohon filsafat yang berawal dengan pengajuan pertanyaan dasar mengenai moralitas, seperti: Apakah manusia bebas? Bagaimana kita bisa menetapkan perbedaan antara baik dan buruk? dan Bagaimana etika bisa nirmustahil? Tentu saja, istilah “filsafat moral” tidak mengacu pada “cara berfilsafat yang baik”, seperti yang diperlawankan dengan filsafat “immoral” yang buruk. “Filsuf moral” bisa saja sama immoralnya dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari! Namun bagaimanapun, tujuan hakiki filsafat moral bukan sekadar memahami apakah kebaikan itu, melainkan memanfaatkannya untuk membantu kita menjadi orang yang lebih baik. Begitu pula, sebagaimana Jonathan Si Camar mulai terbang dengan jauh lebih cepat segera seusai ia pahami penerbangan, pemahaman pondasi moral bagi putusan-putusan etis mesti membantu kita menentukan pilihan yang lebih bijaksana dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu filsafat moral yang paling berpengaruh diajukan oleh Immanuel Kant. Kritik pertama Kant membantu kita dalam meraih beberapa wawasan fundamental mengenai hakikat metafisika pada Bagian Satu, sehingga kita akan mencurahkan sebagian besar waktu kita pada jam ini untuk memeriksa Kritik kedua Kant, yang di dalamnya ia menyarankan cara yang menarik dalam menghadapi kebebalan kita akan kenyataan hakiki. Critique of Pure Reason mengambil sudut pandang “teoretis” untuk menunjukkan bagaimana ruang, waktu, dan kategori-kategori membentuk garis tapal batas yang diperlukan secara mutlak (yakni apriori sintetik) demi pengalaman insani (dan karenanya memungkinkan pengetahuan empiris kita tentang obyek-obyek fenomenal), sedangkan Critique of Practical Reason, sebagaimana yang akan kita saksikan (bandingkan Gambar III.4, III.6, dan IV.4), mengambil sudut pandang “praktis” untuk memperagakan bagaimana kebebasan dan hukum moral membentuk garis tapal batas yang diperlukan secara mutlak demi tindakan moral (dan karenanya memungkinkan penilaian moral kita tentang obyek-obyek nomenal). Kita dapat memaparkan pembedaan itu dengan peristilahan yang lebih sederhana, dengan mengatakan bahwa Kant dalam buku-buku tersebut mengembangkan dua cara (yaitu dua “sudut pandang”) yang berbeda dalam memandang alam: ia mengambil sudut pandang kepala di Kritik pertama dan sudut pandang perut di Kritik kedua (bandingkan Gambar II.8 dan III.4). Memandang dua perangkat ide yang berlawanan sebagai wakil-wakil dari dua sudut pandang itu sering dapat membantu kita dalam melihat bagaimana keduanya bisa benar, walaupun mulanya tampak bertentangan. Sebuah contoh yang sederhana akan menolong kita dalam menjernihkan hal ini. Kebanyakan dari anda sekalian barangkali sedikit-banyak pernah melihat salah satu dari banyak gambar yang dipakai oleh psikolog untuk mengetes bagaimana benak kita mencerap obyek-obyek. Ada gambar yang dapat melambangkan dua obyek yang sepenuhnya berlainan, yang bergantung pada bagaimana ini dicerap. Untuk contoh, lukisan yang terdapat pada Gambar VIII.1 terlihat seperti sebuah cawan jika kita berfokus pada bidang gelap di tengah. Namun bila kita melihat sisi-sisinya, tiba-tiba kita melihat dua wajah yang saling berhadapan. Jawaban mana yang benar? Tentu saja, keduanya benar, masing-masing dengan jalannya sendiri-sendiri. Hal yang sama sering berlaku dalam filsafat, bilamana ada dua jawaban yang terlihat bertolak belakang terhadap pertanyaan yang sama, jika ternayata bahwa masing-masing jawaban mendekati pertanyaan dengan cara yang berbeda, atau dengan sudut pandang yang berbeda. Di Kuliah 9 kita melihat bagaimana Kant menyatakan bahwa, dalam proses pemerolehan pengetahuan teoretis, berbagai “ide” biasanya timbul dalam benak siapa pun yang berpikir secara rasional mengenai pengalaman mereka sendiri: yang terpenting di antaranya adalah ide tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian (lihat CPR 29). Namun ia mengemukakan sebuah masalah mengenai ide-ide itu; jika Kant benar, kita niscaya bebal akan realitas yang ditunjukkan oleh ide-ide tersebut. Ia mengklaim, realitas “nomenal” tersebut berada di luar tapal batas kemungkinan pengetahuan kita. Namun demikian, kita jangan ceroboh, seperti halnya beberapa penafsir, menganggap bahwa Kant berpandangan skeptis tentang ide-ide tersebut. Padahal, salah satu alasan penolakannya terhadap kemungkinan bahwa kita mempunyai pengetahuan tentang ide-ide tersebut adalah keyakinan bahwa siapa saja justru mustahil membuktikan tiadanya realitas-realitas tersebut. Tak seorang pun bisa membuktikan bahwa pandangan kita tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian itu khayalan belaka, karena untuk melakukannya, orang itu perlu memiliki pengetahuan tentang kenyataan hakiki; dan ini, menurut Kant, mustahil. Karenanya, dengan menyangkal “pengetahuan” [tentang realitas terdalam] itu, Kant membiarkan terbukanya suatu ruang untuk “keimanan” kepada ide-ide tersebut (29)—kendati kita masih perlu mencari alasan yang baik untuk pengadopsian keimanan semacam itu, dalam menghadapi kebebalan teoretis kita. Melalui pemeriksaan syarat-perlu, dalam Kritik kedua, bagi dihasilkannya alam moral ketika kita bergelut dengan nafsu (“perut”) kita, Kant berupaya menyediakan penalaran sedemikian itu, atas dasar bahwa ide-ide itu sendiri pada aktualnya mengarahkan kita ke luar dari bidang teori, menuju bidang praktek. Syarat-perlu pertama bagi kebolehjadian tindakan moral ialah kebebasan. Kant menyatakan, kebebasan adalah sebuah dan satu-satunya “fakta pemberian” akal praktis. Dengan mengambil sudut pandang praktis, kita pada aktualnya menerobos tapal batas ruang dan waktu (batasan “kemampuan inderawi” kita dan menggantikannya dengan kebebasan. Akan tetapi, kebebasan itu tidak membiarkan kita tersesat dalam alam kebingungan sebebas-bebasnya yang tanpa batas; alih-alih, kebebasan itu sendiri berfungsi sebagai jenis batasan baru. Ruang dan waktu merupakan batas-niscaya kita yang di dalamnya segala hal yang dapat kita ketahui pasti tampak, sedangkan kebebasan ialah batas-niscaya yang dengannya segala tindakan moral harus bersesuaian. Yang terdahulu adalah pembatasan-alam yang ditimpakan pada kepala kita sehingga kita dapat mengetahui kebenaran; yang terkemudian ialah pembatasan-diri yang ditimpakan pada perut kita sehingga kita dapat menjalankan kebaikan. Walaupun dua sudut pandang itu membawa kita ke arah yang berlawanan, kita tidak perlu memandangnya sebagai kontradiksi yang tak bisa dipertemukan, asalkan kita akui bahwa keduanya mengacu pada aspek kehidupan insani yang berbeda secara mendasar. Kant tak pernah mengklaim bahwa ia bisa membuktikan bahwa manusia itu bebas; Kritik pertama justru memperagakan mengapa bukti semacam itu mustahil. Alih-alih, argumennya ialah bahwa kita harus memprakirakan [adanya] kebebasan agar bisa memasuki bidang moralitas, sebagaimana kita harus memprakirakan [adanya] ruang dan waktu agar bisa memasuki bidang pengetahuan. Di kedua kasus itu kita berhadapan dengan fakta kasar yang bahkan tak dapat dipertanyakan tanpa secara radikal mengubah (atau barangkali bahkan mengikis) pengalaman insani kita. Karena itu, kendati Kant belum meletakkannya dengan cara ini, kita bisa mengatakan bahwa fakta-fakta tersebut berfungsi seperti mitos komplementer bagi siapa saja di dunia modern yang ingin menafsirkan pengalamannya dengan menyebut pengetahuan atau tindakan moral. Jika kebebasan pada Kritik kedua bersesuaian dengan ruang dan waktu pada [Kritik] pertama, apa yang bersesuian dengan kategori-kategori? Aspek logis tapal batas moral yang oleh Kant disebut “hukum moral” atau “imperatif kategoris”. Semua kaidah (yaitu aturan subyektif tentanga tindakan) harus sesuai dengan hukum penilai moral ini. Kant bermaksud bahwa imperatif “kategoris” itu menciptakan suatu tuntutan yang tak bersyarat. Sebaliknya, imperatif “hipotetis” adalah yang dengannya dilekatkan “jika”. Bila saya berkata kepada kalian “Harap tenang jika saya berada di ruang ini!”, maka perintah saya hipotetis, karena kalian tidak perlu diam jika saya tidak berada di ruang ini. Sebaliknya, perintah seperti “Jangan berkata dusta!” biasanya dianggap tak bersyarat. Saya meragukan kalau ibu anda pernah berkata kepada anda “Jangan berkata dusta, kecuali jika itu membuat kamu merasa baik!” Itu karena perintah yang menyebut kebenaran semacam ini biasanya dianggap kewajiban. Menurut Kant, “kewajiban” adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan hukum moral—yakni lebih dalam rangka ketaatan terhadap nurani manusia daripada hanya dalam mengikuti nafsu atau “keinginan” perut manusia. Kant yakin ia bisa menetapkan rumus yang berlaku pada semua tindakan moral. Pada ujung-ujungnya ia secara aktual mengusulkan tiga kriteria (atau rumus) khas bagi imperatif kategoris. Rumus pertama menyatakan bahwa suatu tindakan adalah moral hanya jika kaidahnya bisa disemestakan: “Bertindaklah menurut kaidah yang, pada saat yang sama, hendak anda jadikan hukum universal itu saja” (FMM 421). [Dengan kesemestaan] itu, tidak berarti bahwa setiap orang akan secara aktual sepakat dengan kaidah anda, tetapi hanya bahwa setiap orang seharusnya setuju. Rumus kedua mensyaratkan bahwa kita menghargai pribadi orang: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga anda memperlakukan manusia selalu sebagai tujuan dan tak pernah sebagai alat belaka, entah perihal pribadi anda sendiri entah perihal pribadi orang lain” (429). Rumus ketiga mensyaratkan bahwa kaidah kita harus otonom (yaitu mengatur-sendiri): karena “setiap makhluk yang rasional [menciptakan] hukum universal”, kaidah moral harus “selaras dengan penentuan-hukum kehendak yang universal” (431). Mari kita uji [tiga] kriteria-niscaya ini, terutama rumus pertama, dengan menerapkannya pada sebuah contoh. Jika saya menyontek pada suatu pengujian dan seseorang menanyai saya “Apakah anda menyontek pada pengujian itu?”, maka saya berhadapan dengan suatu pilihan moral. Saya bisa berbohong, dan berharap tak seorang pun menemukan kebenarannya, atau mengatakan kebenarannya dan menghadapi akibatnya. Walaupun berbohong dalam kasus semacam itu bisa membuat saya lebih senang, Kant memandang pilihan ini salah secara moral, karena didasarkan pada kaidah yang tak pernah menjadi hukum universal. Dalam kasus terdahulu kaidah saya mungkin “Berkata bohong bisa diterima jika dapat mengeluarkan saya dari situasi yang menyulitkan”, sedangkan dalam [kasus] yang terkemudian kaidah saya mungkin “Jangan sekali-kali berkata bohong!”. Kant dengan sukarela menerima bahwa menghendaki (yaitu ingin mengatakan) kebohongan khusus [tentu saja] nirmustahil, tetapi ia menyatakan bahwa menghendaki “kebohongan sebagai hukum universal” adalah tidak rasional: dalam kasus semacam itu “kaidah saya niscaya akan hancur sendiri segera seusai dijadikan hukum universal” (FMM 403). Dengan kata lain, bayangkan jika ada dunia yang menerima kebohongan yang akan membahagiakan orang, maka fungsi utama bahasa (yakni kemampuannya untuk membawa kebenaran) akan terkikis. Lagipula, kebohongan juga melanggar kriteria kedua dan ketiga: itu mengeksploitasi orang-orang lain, mengabaikan kemampuan rasional mereka, sebagai satu-satunya cara untuk membahagiakan diri. Berbohong mensyaratkan bahwa kita melanggar hukum yang bisa disemestakan (dan karenanya juga melecehkan rasionalitas manusia), sehingga berkata bohong selalu salah secara moral, tak peduli betapa bahagia perasaan kita yang ditimbulkan oleh kebohongan. Ada banyak contoh lain yang diberikan oleh Kant, yang berhubungan dengan tindakan bunuh-diri, kemalasan, dan sikap apatis (lihat FMM 421-424); namun untuk tujuan kita [di sini] cukup ditunjukkan fungsi kriteria penilaian Kant yang diduga terpenuhi oleh tindakan moral. Menurut Kant, kita tidak harus secara sadar memikirkan tiga rumus imperatif kategoris setiap kali menghadapi dilema moral; alih-alih, fungsinya adalah memungkinkan filsuf untuk benar-benar menunjukkan posisi persoalan moral dan kemudian menentukan garis tapal batas yang secara obyektif sahih antara tindakan yang secara moral baik dan yang secara moral buruk. Garis tapal batas itu obyektif lantaran benar bagi siapa saja (yaitu bersifat universal) dan karena memanfaatkan kenyataan yang secara obyektif eksis (yakni manusia) sebagai landasan penilaian. Bilamana hukum moral menyuruh kita untuk melakukan sesuatu, maka mengerjakan tindakan itu membuat kita terpuji hanya jika pilihan kita juga tidak dimaksudkan untuk memuaskan salah satu keinginan kita—yakni hanya jika alasan untuk melakukannya tidak terkait dengan pemuasan nafsu kita. Jadi, filsafat moral Kant bisa dinyatakan kembali sebagai berikut: suatu tindakan bisa secara moral baik atau buruk hanya jika dilakukan secara bebas dan [berasal] dari penghargaan terhadap hukum moral, bukan [berasal] dari keinginan untuk memenuhi hasrat kita akan kebahagiaan. Kant menaruh banyak perhatian pada perbedaan tajam antara keinginan dan kewajiban berikutnya. Tentu saja, ada kalanya suatu tindakan bisa memenuhi hukum moral dan sekaligus mencapai kebahagiaan yang kita inginkan. Namun bilamana hal itu mustahil, kita harus memilih untu mengatakan “Tidak!” kepada kebahagiaan kita sendiri. Dengan demikian, kita dapat mengungkapkan perintah imperatif kategoris sebagai: “Hormatilah hukum moral!” atau “Ikutilah hati nurani anda sebagai prinsip obyektif!” atau yang sederhana, “Tunaikanlah kewajiban anda!” Jenis teori moral tersebut kadang-kadang disebut “deontologi” dan secara tradisional diperlawankan dengan “utilitarianisme”. Pandangan yang terakhir ini dipertahankan oleh J.S. Mill (1806-1873), seorang filsuf Inggris yang berargumen bahwa suatu tindakan adalah baik hanya jika memaksimalkan kebahagiaan manusia. Kant menganggap hasil tindakan kurang penting daripada motivasi batiniah pelakuknya. Inilah alasan mengapa pada atu persoalan ia mengatakan bahwa tiada yang bisa “disebut baik tanpa kualifikasi kecuali niat baik” (FMM 392); artinya, tidak ada hal-hal yang merupakan tindakan yang mutlak-baik, namun ada sesuatu yang merupakan niat yang mutlak-baik—yakni niat yang mendasarkan kaidah-kaidahnya pada hukum moral. Bagi Kant, urutan yang tepat untuk memandang kenyataan adalah dari sisi dalam ke sisi luar. Sebaliknya, bagi Mill, hasil luar dari suatu tindakan itu jauh lebih penting daripada motivasi di belakangnya: tindakan terbaik adalah yang paling membahagiakan orang. Artinya, tentu saja, bahwa Mill memaafkan kebohongan bilamana memiliki “faedah” (yakni kegunaan) yang memadai untuk lebih membantu orang daripada mencelakakannya. Secara demikian, pencurian oleh sopir bus [tersebut di atas] bisa berbalik menjadi bisa diterima secara moral jika, misalnya, ia membutuhkan uang anda untuk memberi makan anak-anak yang kelaparan, sedangkan anda hanya akan menggunakannya untuk membeli beberapa buku filsafat untuk kesenangan anda sendiri. Akan tetapi, jika kita mempercayai Kant, dunia semacam itu merupakan dunia yang tidak rasional—suatu dunia yang tanpa tapal batas sama sekali—dan akhirnya akan hancur sendiri. Sebagai ganti terhadap pemeriksaan yang lebih dekat tentang perdebatan yang berlangsung lama antara deontologi dan utilitarianisme itu, mari kita teruskan bahasan kita tentang versi deontologi Kant dengan melihat beberapa implikasi kelanjutannya. Supaya moralitas benar-benar rasional, Kant memandang bahwa tindakan moral harus mampu memenuhi tujuannya: membawa kita menuju kebaikan yang mungkin tertinggi. Bagaimana seharusnya “summum bonum” ini didefinisikan merupakan persoalan yang diperdebatkan di kalangan filsuf sejak zaman kuno. Kaum Stoik yakin kebaikan tertinggi adalah keluhuran budi (virtue), dan bahwa kehidupan yang berbudi-luhur mesti diburu tanpa mempedulikan kebahagiaan. Sebaliknya, kaum Epicurean berpandangan bahwa kebaikan tertinggi adalah memuaskan kesenangan, dan karenanya memburu kebahagiaan. Perbedaan ini bisa dilacak jejaknya pada perbedaan antara Plato, dengan fokusnya pada ide kebaikan, dan Aristoteles, dengan kepeduliaannya terhadap pengalaman kebahagiaan nyata. Sekilas, tampaknya perbandingan itu bersesuaian dengan perbedaan antara deontologi Kant dan utilitarianisme Mill. Akan tetapi, Kant menolak interpretasi terhadap implikasi filsafat moralnya sendiri tersebut. Kant mengemukakan bahwa konsepsi terbaik tentang kebaikan tertinggi pasti mencakup keluhuran budi dan sekaligus kebahagiaan. Kebahagiaan tanpa keluhuran budi adalah kezaliman; keluhuran budi tanpa kebahagiaan adalah upaya yang sia-sia. Oleh sebab itu, Kant menjelaskan bahwa kebaikan tertinggi ialah gambaran alam-ideal yang memberi setiap orang ganjaran atas keluhuran budi mereka dengan tingkat kebahagiaan yang proporsional. Dengan kata lain, jika tingkat keluhuran budi anda mencapai delapan pada skala sepuluh dan tingkat saya hanya mencapai tujuh, maka anda akan memperoleh ganjaran 80% kebahagiaan, sedangkan saya diganjari dengan 70% kebahagiaan. Konsepsi lain apa pun tentang tujuan-hakiki tindakan moral akan menyebabkan moralitas tidak rasional, lantaran karenanya moralitas akan berujung pada sesuatu yang kurang dari kebaikan dan keadilan yang sempurna. Kant sering dikritik karena memasukkan kebahagiaan ke dalam teorinya pada tahap akhir ini: bagaimana ia memasukkan kebahagiaan dalam kebaikan tertinggi bila ia telah mendefinisikan keluhuran budi dengan peristilahan pemenuhan kewajiban sebagai ganti terhadap kebahagiaan? Namun kritikan itu didasarkan pada kesalahpahaman. Dengan memasukkan kebahagiaan dalam kebaikan tertinggi, tidak serta-merta Kant mengubah pikirannya dan mengatakan bahwa kebahagiaan bisa menjadi motivasi tindakan kita sepenuhnya. Alih-alih, kita harus memperbedakan antara kebahagiaan sebagai motif asal dan kebahagiaan sebagai harapan rasional. Realitas kehidupan manusia, menurut Kant, adalah bahwa tindakan yang baik acapkali mensyaratkan bahwa kita melakukan sesuatu yang sepengetahuan kita akan kurang menyenangkan kita (semisal melawan godaan untuk mencuri uang orang lain, berbohong untuk melindungi reputasi kita, dan sebagainya); namun pada saat yang sama, akal kita memberi tahu kita bahwa pada akhirnya orang yang memilih patuh kepada hukum moral lebih berbahagia daripada orang yang memilih berburu kebahagiaan sebagai tujuan tunggal. Hal itu menghadirkan satu masalah yang harus dipecahkan jika moralitas mesti rasional: sepengetahuan kita, para budiman sering tidak diganjari dengan kebahagiaan duniawi. Lantas, bagaimana kita bisa membayangkan bahwa kebaikan tertinggi itu masuk akal? Kant berargumen bahwa akal praktis mensyaratkan bahwa kita “mendalilkan” kenyataan hidup selepas kematian dan keberadaan Tuhan. Tidak seperti kebebasan, dua dalil tersebut tidak memainkan peran dalam memoralkan tindakan; alih-alih, dalil-dalil itu membantu kita dalam memahami tujuan rasional moralitas itu sendiri. Tanpa iman kepada kehidupan lain dan kepada Tuhan suci yang mengatur kehidupan itu, kita bisa juga bertindak secara moral, tetapi kita tidak akan mampu menjelaskan bagaimana kebaikan tertinggi bisa diwujudkan. Itulah “argumen moral” Kant yang populer perihal keberadaan Tuhan. Ia tidak pernah mengklaim bahwa [argumen] tersebut bisa memberi kita pengetahuan hakiki tentang keberadaan Tuhan; namun ia memang mengemukakan bahwa hal itu menyediakan alasan praktis terbaik untuk beriman kepada Tuhan. Pada dasarnya, argumennya adalah bahwa setiap orang yang bertindak secara moral dan beriman kepada rasionalitas tindakan semacam itu [pasti] bertindak seolah-olah ada Tuhan, entah mereka pada aktualnya beriman kepada Tuhan entah tidak. Dengan kata lain, Kant menyatakan, kita harus beriman kepada Tuhan atau, kalau tidak, kita pasti menolak salah satu proposisi berikut ini: (1) tindakan moral adalah baik; (2) moralitas adalah rasional; (3) kebaikan tertinggi itu menggabungkan keluhuran budi dengan kebahagiaan proporsional. Di samping menyediakan “bukti praktis” keberadaan Tuhan, filsafat moral Kant memberi beberapa kontribusi penting lain. Umpamanya, seperti yang telah kita lihat, ia menarik garis tapal batas yang tegas antara tindakan moral dan non-moral.
Suatu tindakan [bersifat] moral hanya jika dilakukan secara bebas (yakni tanpa bergantung pada kebahagiaan kita sendiri) dan sesuai dengan hukum moral (yaitu didasarkan pada kaidah yang bisa disemestakan). Ini semua merupakan syarat-perlu yang pasti benar bagi siapa saja yang hendak bertindak secara moral, sehingga [kondisi-kondisi] itu menentukan perangkat pedoman yang mutlak bagi motivasi batiniah kita, sebagaimana ruang, waktu dan kategori-kategori yang menentukan perangkat pedoman yang mutlak untuk memahami dunia luar.Walaupun Kant memang menulis beberapa buku dalam upayanya untuk memperlihatkan bahwa ada bidang pengalaman manusia yang mensintesis kebebasan dan alam; perseteruan keras antara dua bidang itu tidak merepotkan dia sebanyak
kerepotan pengritik-pengritiknya. Ini karena kecenderungannya sendiri tidak untuk mengakui bahwa dua bidang tersebut mengemukakan suatu kontradiksi mutlak yang perlu dijauhi, tetapi untuk mengiyakan perseteruan sebagai sifat dasar manusia. Ia mengakuinya sebagai perseteruan antara dua perspektif manusia, dua cara

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Oliez
saya orangnya slengean cuy
Lihat profil lengkapku

Total Tayangan Halaman